Home

Selasa, 27 Desember 2016

Tukang Bubur



          Keluh kesahku sudah terdengar sejak pagi datang. Bagaimana tidak ? Harus bangun sedini mungkin dengan badan berstatus sakit, mandi terpaksa dengan dinginnya air untuk membunuh kantukku, dan terlebih lagi harus menghadapi soal-soal yang tak sempat kupelajari tadi malam, ya itu semua sangat amat menyebalkan! Bukti dari kerasnya hidup huh.

          Mengetahui diriku akan ditinggal pergi di Jakarta juga membuat dada serasa sesak dan semakin menghempit jantungku melihat bunda berlibur membiarkanku dengan secarik kertas ujian, kejam.


          “W = U.L.T” terus mengiang-ngiang di otakku, bahkan sampai jam ujian habis. Kupikir hari ini, Rabu 30 November 2016 akan jadi hari tergalauku dalam bulan ini. Mengapa tidak ? Melihat wajah-wajah kawanku yang teramat bahagia menjawab soal-soal yang dipelajarinya dan teramat percaya diri untuk mengatakan “bisa”. Hahaha..
Sementara aku ? Hanya terdiam, duduk manis dan merasa bodoh.

“Maaf ve, Pak Ikin baru aja jalan ke bank, ga bisa jemput, pulang sendiri ya,    hati-hati.”
Desah nafasku mengakhiri percakapan di telepon itu. Kubuka aplikasi yang dengan setia mengantarku pulang setiap ada masalah, walau harus merogoh uang sakuku, tak apa.

          “Dalam 2 ment lagi saya akan tiba”
          “Oke”
B 1979 ZE, Wirotno, kira-kira begitulah ciri-ciri sopir non permanenku kali ini. Bermodal tissue tipis di tanganku, yang hanya dapat kulakukan saat menunggu adalah membersihkan hidungku karena batuk serta pilek yang sangat mengganggu dan cukup untuk memperburuk hari Rabu ini.

“Abis ini puter balik atau lurus ? Rumahnya yang mana ya mba ? yang itukah” tanya sopir panik.
          “Yang kuning” singkatku.
Inilah salah satu alasan mengapa aku selalu ingin dijemput, tidak mau pulang bermodal sendiri, bukannya takut uang jajanku hilang namun aku sangat tak suka berbicara dengan manusia asing yang terlebih lagi bawel, kurasa itu aku akan memilih jalan kaki sendiri saja dari pada harus menerima kondisi itu.
Karena itu jatah RP.10.000 ku sekarang sudah jadi miliknya, yah tapi setidaknya aku sampai di depan gedung wisma rumahku.

         Tapi ketahuilah, sebenarnya aku tidak pernah mengimajinasikan 1 menit kedepan akan ada yang menyapaku dan akan berhasil membuat mood hatiku berubah.

“Mau bubur ga neng ?” kata seorang bapak bertopi, memakai handuk putih dekil di bahunya, dan seuntai senyum tulus sontak membuatku terdiam dalam waktu.
          “Ah tak apa kok pak, sudah makan tadi” jawabku dengan ekspresi terkejut.
Untuk terakhir kalinya, ia menatap dalam dengan mata hitam pekatnya diselingi air asam bercucuran dari keningnya. Lalu ia tersenyum lagi. Senyumnya bergigi tulus lebih tulus dari yang sebelumnya. Dan kali ini ia mengelap keringat di hidungnya lalu berbalik arah.

Kulihat ia berjalan tanpa beban dan berhenti di gerobak biru muda alih-alih bertulis “bubur ayam” berwarna merah.
“Apa dia sudah gila ? Siang-siang seperti ini berjualan bubur panas ? Siapa yang akan membeli buburnya ? tidak ada” pikirku.
“Tidak ada” kata itu jelas memanah hatiku. Iba dan pedih muncul tiba-tiba, apalagi memandangnya sedang mencincang daging ayam serabut kenyal dengan wajah lemas tampak seperti meratapi hidup dan menunggu sesuatu yang tidak pasti, tapi inilah hidup, tukang bubur itu mengajarkan banyak hal dalam 14 detik percakapan itu.

          Terlihat dari mimiknya, ia tak mengeluh karena adanya harapan dalam dirinya. Lagipula harapanlah yang menjadikan kita manusia. Dan terlebih lagi kerja keras akan mendatangkan harapan indah yang terwujud.


Bukan begitu ?








-Vellanda Verenna




Tidak ada komentar:

Posting Komentar