Keluh kesahku sudah terdengar sejak
pagi datang. Bagaimana tidak ? Harus bangun sedini mungkin dengan badan
berstatus sakit, mandi terpaksa dengan dinginnya air untuk membunuh kantukku,
dan terlebih lagi harus menghadapi soal-soal yang tak sempat kupelajari tadi
malam, ya itu semua sangat amat menyebalkan! Bukti dari kerasnya hidup huh.
Mengetahui diriku akan ditinggal pergi
di Jakarta juga membuat dada serasa sesak dan semakin menghempit jantungku
melihat bunda berlibur membiarkanku dengan secarik kertas ujian, kejam.
“W
= U.L.T” terus mengiang-ngiang di otakku, bahkan sampai jam ujian habis.
Kupikir hari ini, Rabu 30 November 2016 akan jadi hari tergalauku dalam bulan
ini. Mengapa tidak ? Melihat wajah-wajah kawanku yang teramat bahagia menjawab
soal-soal yang dipelajarinya dan teramat percaya diri untuk mengatakan “bisa”.
Hahaha..
Sementara
aku ? Hanya terdiam, duduk manis dan merasa bodoh.
“Maaf ve, Pak Ikin baru aja jalan ke bank, ga bisa
jemput, pulang sendiri ya, hati-hati.”
Desah
nafasku mengakhiri percakapan di telepon itu. Kubuka aplikasi yang dengan setia
mengantarku pulang setiap ada masalah, walau harus merogoh uang sakuku, tak
apa.
“Dalam 2 ment lagi saya akan tiba”
“Oke”
B
1979 ZE, Wirotno, kira-kira begitulah ciri-ciri sopir non permanenku kali ini.
Bermodal tissue tipis di tanganku,
yang hanya dapat kulakukan saat menunggu adalah membersihkan hidungku karena
batuk serta pilek yang sangat mengganggu dan cukup untuk memperburuk hari Rabu
ini.
“Abis ini puter balik atau lurus ? Rumahnya yang mana
ya mba ? yang itukah” tanya sopir panik.
“Yang kuning” singkatku.
Inilah
salah satu alasan mengapa aku selalu ingin dijemput, tidak mau pulang bermodal
sendiri, bukannya takut uang jajanku hilang namun aku sangat tak suka berbicara
dengan manusia asing yang terlebih lagi bawel, kurasa itu aku akan memilih
jalan kaki sendiri saja dari pada harus menerima kondisi itu.
Karena
itu jatah RP.10.000 ku sekarang sudah jadi miliknya, yah tapi setidaknya aku
sampai di depan gedung wisma rumahku.
Tapi ketahuilah, sebenarnya aku tidak
pernah mengimajinasikan 1 menit kedepan akan ada yang menyapaku dan akan
berhasil membuat mood hatiku berubah.
“Mau bubur ga neng ?” kata seorang bapak bertopi,
memakai handuk putih dekil di bahunya, dan seuntai senyum tulus sontak
membuatku terdiam dalam waktu.
“Ah tak apa kok pak, sudah makan tadi”
jawabku dengan ekspresi terkejut.
Untuk
terakhir kalinya, ia menatap dalam dengan mata hitam pekatnya diselingi air
asam bercucuran dari keningnya. Lalu ia tersenyum lagi. Senyumnya bergigi tulus
lebih tulus dari yang sebelumnya. Dan kali ini ia mengelap keringat di
hidungnya lalu berbalik arah.
Kulihat ia berjalan tanpa beban dan berhenti di
gerobak biru muda alih-alih bertulis “bubur ayam” berwarna merah.
“Apa dia sudah gila ? Siang-siang seperti ini
berjualan bubur panas ? Siapa yang akan membeli buburnya ? tidak ada” pikirku.
“Tidak ada” kata itu jelas memanah hatiku. Iba dan
pedih muncul tiba-tiba, apalagi memandangnya sedang mencincang daging ayam
serabut kenyal dengan wajah lemas tampak seperti meratapi hidup dan menunggu
sesuatu yang tidak pasti, tapi inilah hidup, tukang bubur itu mengajarkan
banyak hal dalam 14 detik percakapan itu.
Terlihat dari mimiknya, ia tak mengeluh karena adanya harapan dalam dirinya. Lagipula harapanlah yang menjadikan kita manusia. Dan terlebih lagi kerja keras akan mendatangkan harapan indah yang terwujud.
Bukan begitu ?
-Vellanda Verenna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar